Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina

Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina - Featured Image

Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina - Featured Image

Bagikan artikel ini:

Hingga saat ini, tidak ada tanda-tanda konkret menuju perdamaian dalam konflik Israel-Palestina, terutama berkaitan dengan status Yerusalem. Langkah Presiden AS Donald Trump yang mendukung Israel memberikan semangat baru bagi Israel, membuat situasi semakin rumit. Meskipun baru-baru ini, Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT LB OKI) diadakan di Istanbul pada tanggal 13 Desember 2017, upaya tersebut tampaknya lebih bersifat simbolis daripada memiliki kekuatan nyata yang dapat memaksa Trump untuk mencabut keputusannya yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Deklarasi Istanbul, yang berjudul ‘Freedom for al-Quds’, dikeluarkan oleh KTT LB OKI, meskipun tidak membawa banyak elemen baru. Preambul Deklarasi hanya menguatkan kembali posisi keagamaan dan sejarah al-Quds atau Yerusalem sebagai tempat yang sangat suci bagi umat Islam, termasuk Haram al-Syarif, salah satu dari tiga masjid suci Islam, dan sebagai tempat Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, Deklarasi ini menegaskan hak sah bangsa Palestina atas tanah airnya yang masih diduduki oleh Israel, yang merupakan pelanggaran berbagai hukum internasional dan resolusi PBB. Meskipun banyak peringatan dan kritik internasional, pelanggaran terus berlanjut dengan perampasan tanah milik bangsa Palestina untuk pembangunan permukiman ilegal warga Yahudi. Konflik Israel-Palestina masih merupakan isu yang sangat kompleks dan sulit untuk diselesaikan.

Perampasan Tanah dan Deklarasi KTT LB OKI dalam Konteks Konflik Israel-Palestina

Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina
Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina

Terus berlanjutnya pelanggaran dengan perampasan tanah milik rakyat Palestina untuk pembangunan permukiman ilegal oleh warga Yahudi menjadi sorotan dalam konteks konflik Israel-Palestina. Data dari sumber-sumber berita menunjukkan bahwa perampasan tanah ini adalah bagian dari upaya yang terus berlanjut oleh Israel untuk memperluas wilayahnya di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, yang dianggap sebagai wilayah yang diperebutkan oleh Palestina.

Deklarasi sembilan poin yang dikeluarkan dalam konteks Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT LB OKI) mengecam tindakan Israel yang tidak sah dalam mengenai status al-Quds (Yerusalem) dan aneksasi kota suci ini. Namun, pertanyaan muncul apakah dengan mendukung Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina, KTT LB OKI secara tidak langsung mengakui kekuasaan de facto Israel atas Yerusalem Barat.

Sementara itu, deklarasi tersebut juga mengimbau PBB, Uni Eropa (UE), dan masyarakat internasional untuk tetap berkomitmen pada status al-Quds dan resolusi PBB terkait. Namun, bagaimana implikasi politik dari deklarasi ini akan memengaruhi perkembangan konflik Israel-Palestina di masa depan masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab.

Pengakuan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina dan Tantangan Menuju Perdamaian Israel-Palestina

Apakah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bersedia menerima Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dalam konteks konflik Israel-Palestina? Pertanyaan ini muncul setelah OKI mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dalam sebuah deklarasi. Namun, pengakuan tersebut bisa menjadi titik awal menuju perdamaian yang diinginkan dalam konflik yang telah berlangsung selama berdasawarsa ini.

Dalam usaha mencari solusi konflik Israel-Palestina, penting untuk mencapai “solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.” Ini berarti mengakui dua negara merdeka, Israel dan Palestina, dan penerimaan pembagian Yerusalem, termasuk Yerusalem Barat dan Timur.

Deklarasi OKI secara eksplisit menetapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, tetapi tidak menyatakan secara tegas bahwa Yerusalem Barat adalah ibu kota Israel. Israel, yang telah menguasai Yerusalem Barat sejak 1948, tentu menolak pengakuan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Untuk mencapai perubahan sikap Israel, mungkin perlu melibatkan kelompok-kelompok warga Israel yang mendorong perdamaian dengan Palestina. Inisiatif seperti koalisi Arab-Israeli Peace Project dapat berperan sebagai agen perdamaian dengan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Namun, perjalanan menuju perdamaian yang berkelanjutan di tengah konflik Israel-Palestina tetap menjadi tantangan yang besar dan kompleks.

Maaf, tampaknya saya belum menyertakan heading pada paragraf sebelumnya. Berikut heading yang sesuai untuk artikel tersebut:

Tantangan Menuju Perdamaian Israel-Palestina: Peran Netanyahu, Keputusan AS, dan Solusi “Dua Negara”

Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina - Kontroversi Donald Trump
Dua Negara, Satu Kota: Yerusalem dan Konflik Israel-Palestina – Kontroversi Donald Trump

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikenal sebagai seorang pemimpin yang bersikap keras dan anti perdamaian dalam konteks konflik Israel-Palestina. Kepemimpinan hawkish-nya telah memainkan peran penting dalam menjaga status quo yang meruncingkan ketegangan di kawasan tersebut.

Pemerintah Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, telah membuat keputusan kontroversial dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun, langkah ini memiliki dampak besar pada proses perdamaian, yang membuat banyak pihak berpendapat bahwa revisi diperlukan. Salah satu alternatif yang telah diajukan adalah mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Meskipun demikian, perubahan semacam ini akan memicu reaksi keras dan memengaruhi stabilitas di kawasan tersebut.

Indonesia, bersama dengan PBB dan Uni Eropa, mendukung “solusi dua negara” sebagai upaya untuk mengakhiri konflik ini. Solusi ini akan menciptakan situasi di mana Yerusalem menjadi ibu kota bagi kedua negara, Israel dan Palestina. Namun, perbedaan pandangan antara Israel dan Palestina, serta dukungan AS dan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), masih menjadi tantangan utama dalam mencapai kesepakatan tersebut.

Ketidaksepakatan dalam mengenai Yerusalem Barat dan Yerusalem Timur, serta ketidakmampuan untuk saling mengakui, telah menyebabkan konflik berkelanjutan yang terus menghancurkan kedua pihak. Untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, solusi yang realistis dan berpijak pada pengakuan saling antara Israel dan Palestina perlu ditemukan.